eSatu.id,Cirebon- Sudah terkenal sekali Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) berhasil mengembangkan solusi untuk menangani pencemaran radioaktif yang di hasilkan dari reaksi fisi nuklir.
Metode ini memanfaatkan media tanaman dan tidak memerlukan bahan kimia berbahaya. Peneliti Pusat Riset Teknologi Bahan Nuklir dan Limbah Radioaktif BRIN.
Gustri Nurliati, menjelaskan lebih spesifik bahwa metode itu menangani pencemaran Sesium-137 atau Cs-137 dengan menggunakan metode fitoremediasi.
baca juga:Bapetan Mengalokasikan Dana Sebesar Rp 4,58 Miliar Untuk Proyek Pembangkit listrik Tenaga Nuklir.
“Biaya relatif rendah, sustainable, meningkatkan estetika lingkungan, dan mengurangi risiko pencemaran lebih lanjut,” ujarnya dalam pernyataan yang di kutip di Jakarta, Senin (2/4). Cs-137 adalah unsur radioaktif yang di hasilkan dari reaksi fisi nuklir.
Unsur itu mudah larut dalam air, sehingga jika mengontaminasi lingkungan akan larut dan dapat masuk ke rantai makanan maupun tubuh makhluk hidup.
Metode fitoremediasi merupakan teknologi pengurangan, pembersihan, atau penghilangan polutan berbahaya, seperti logam berat, pestisida, senyawa beracun, dan lain-lain dalam media lingkungan, tanah, atau air, dengan menggunakan tanaman.
Ilmuwan BRIN telah melakukan fitoremediasi untuk mengatasi kontaminasi Cs-137. Riset fitoremediasi di lakukan dengan kontaminan sesium non-radioaktif menggunakan tanaman sorgum, akar wangi, bayam duri, dan sengon.
Sedangkan fitoremediasi dengan kontaminan sesium radioaktif di lakukan menggunakan tanaman jagung, bayam, kangkung, cabai, tomat, pare, sawi hijau, terong, dan daun singkong.
“Berdasarkan hasil studi yang telah di lakukan, tanaman yang tertinggi untuk transfer faktor Cs-137 adalah bayam. Sedangkan yang tertinggi transfer faktor Cobalt adalah tanaman pare,” kata Gustri.
Metode fitoremediasi memiliki empat prinsip dasar yakni ekstraksi, volatisasi, degradasi, dan containment atau imobilisasi.
Ekstraksi adalah proses penyerapan zat kontaminan dari media oleh tumbuhan. Kontaminan akan terakumulasi di sekitar akar tumbuhan, kemudian di translokasikan ke seluruh tubuh tumbuhan yaitu akar, tajuk batang, dan daun.
Volatisasi adalah proses di mana kontaminan ditransformasi oleh tanaman menjadi bentuk yang kurang toksik dan mudah menguap.
Lalu di lepaskan ke atmosfer melalui penyerapan, jaringan tanaman, metabolisme tanaman, dan proses transpirasi.
Mekanisme selanjutnya adalah degradasi atau destruksi yang melibatkan penguraian kontaminan organik secara langsung melalui pelepasan enzim dari akar atau melalui aktivitas metabolisme dalam jaringan tanaman.
Kontaminan organik umumnya di ubah menjadi karbondioksida dan air. Mekanisme terakhir adalah imobilisasi untuk zat kontaminan yang sulit di degradasi. Kontaminan itu hanya di serap oleh akar dan tetap menempel pada akar tumbuhan.
Zat-zat kontaminan akan menempel erat pada akar, sehingga tidak akan terbawa oleh aliran air dalam media tercemar.
Gustri mengatakan, perlu identifikasi mekanisme fitoremediasi dan tujuan remediasi untuk menentukan jenis tanaman yang di gunakan.
Selain itu, informasi detail mengenai lokasi berupa kontaminan, konsentrasi, bentuk, tekstur tanah, salinitas, tingkat keasaman, kesuburan, dan kadar air.
Identifikasi kriteria juga penting untuk seleksi tanaman, misalnya toleransi panas, toleransi serangga, ketahanan terhadap kekeringan, dan laju pertumbuhan atau produksi biomassa.
“Cocokkan kriteria-kriteria tersebut dengan daftar tanaman yang di usulkan. Kemudian, setelah memilih tanaman dan melaksanakan fitoremediasi.
Di perlukan juga proses pemantauan dan evaluasi pertumbuhan tanaman dan pemilihan tanaman,” kata Gustri.
Ternyata pare dan bayam bukan haya memiliki manfaat untuk kesehatan tubuh kita akan tetapi juga bisa di oleh untuk mengatasi penyemparan limbah nukrik yang di solusikan oleh BRIN.