eSatu.id,Cirebon-sebetulnya dalam hal apapun itu kita dapat menentukan awal tahapan perkembangan kelapa sawit terutama dalam hal bidang perintis perkembangannya,akan tetapi bukan dalam hal kelapa sawit juga,dalam hal bisnis pun begitu.
Sejarah perkembangan industri kelapa sawit Indonesia telah di mulai sejak zaman kolonial,Industri kelapa sawit seperti yang kita kenal saat ini berasal dari empat benih kelapa sawit Dura yang di peroleh dari Bourbon, Mauritius dan Amsterdam oleh Dr. D. T. Pryce pada tahun 1848.
Benih-benih tersebut kemudian di jadikan sebagai tumbuhan koleksi di Kebun Raya Bogor (Buitenzorg Botanical Gardens).
Bijih kelapa sawit dari Kebun Raya Bogor kemudian di tebarkan ke berbagai daerah di Indonesia, seperti Jawa, Madura, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara, sebagai tanaman hias.
Fase-Fase Perkembangan Kelapa Sawit Indonesia
Sejarah perkembangan kelapa sawit di Indonesia dapat di bagi menjadi tiga fase, yaitu fase perintisan, fase kebangkitan, dan fase kemandirian.
Fase Perintisan
Tahun 1870 merupakan tahun penting dalam sejarah perkebunan kelapa sawit Indonesia, karena pemerintah kolonial Belanda membuka peluang usaha ini bagi investor swasta dan asing melalui kebijakan Agrarische Wet.
Uji coba pertama perkebunan kelapa sawit di laksanakan tahun 1875 oleh Deli Maatschappij dengan luas 0,4 ha di Tanah Deli dan hasilnya sangat baik, bahkan lebih unggul di banding habitat asalnya di Afrika Barat.
Setelah itu, perusahaan Belgia membuka usaha perkebunan kelapa sawit komersial pertama pada tahun 1911 di Pulau Raja dan Sungai Liput. Perusahaan-perusahaan asing lain seperti Jerman, Belanda, dan Inggris pun berlomba-lomba membuka perkebunan kelapa sawit.
Pada tahun 1911, perusahaan Jerman juga membuka usaha perkebunan kelapa sawit di Tanah Itam Ulu. Langkah investor Belgia dan Jerman tersebut di ikuti oleh investor asing lainnya termasuk Belanda dan Inggris.
Tahun 1916 telah ada 19 perusahaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia dan meningkat menjadi 34 perusahaan pada tahun 1920. Pabrik Kelapa Sawit (PKS) pertama di Indonesia di bangun di Sungai Liput (1918) kemudian di Tanah Itam Ulu (1922).
Tahun 1919 menandai tahap awal pembangunan Pabrik Kelapa Sawit (PKS) pertama dan mencatat ekspor minyak sawit (CPO) pertama sebanyak 576 ton. Produksi CPO Indonesia mencapai puncaknya pada tahun 1937 dengan pangsa 40 persen dari total produksi CPO dunia, mengalahkan Nigeria sebagai produsen terbesar sebelumnya.
Sayangnya, produksi CPO Indonesia menurun drastis setelah itu, dari 239 ribu ton pada tahun 1940 menjadi 147 ribu ton pada tahun 1958.
Akibatnya, pangsa Indonesia di pasar CPO dunia melorot dari urutan pertama menjadi ketiga setelah Nigeria dan Kongo, dan pada tahun 1959 hanya 17 persen.
Fase Kebangkitan
Pada fase kebangkitan, sejak Orde Baru memegang kekuasaan pada 1966 di Indonesia, terjadi perubahan besar dalam politik ekonomi pemerintah.
Dalam upaya untuk memperluas peluang bagi dunia usaha dan investasi swasta, pemerintah menerbitkan Undang-undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Undang-undang No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) yang membuka jalan untuk masuknya investasi baru dalam perkebunan kelapa sawit.
Stabilnya situasi politik dan ekonomi pada saat itu, di tambah dengan bantuan modal dan tenaga ahli dari berbagai negara, memberikan dorongan baru bagi pertumbuhan perkebunan kelapa sawit di Indonesia.
Kebijakan yang menguntungkan yang di terapkan pemerintah waktu itu menstimulasi dunia usaha, termasuk perkebunan negara, untuk mengembangkan perkebunan kelapa sawit, baik melalui peningkatan produktivitas maupun perluasan areal baru.
Ini tercermin dari peningkatan cepat luas areal perkebunan swasta dan negara, yang meningkat dari hanya 119 ribu pada tahun 1969 menjadi 3,9 juta pada tahun 1999.
Produksi CPO juga meningkat signifikan, dari hanya 188 ribu ton pada tahun 1969 menjadi 6,4 juta ton pada tahun 1999, sebagian besar karena peningkatan produktivitas.
Selain itu, perkebunan rakyat berkembang pesat dan sentra perkebunan kelapa sawit semakin menyebar ke provinsi lain. (Badrun, 2010; Sipayung, 2012).
Fase Kemandirian
Periode kemandirian, pada tahun 2000- 2010, memperlihatkan perubahan drastis baik pada lingkungan strategis maupun pada industri kelapa sawit nasional.
Setelah krisis multidimensi yang memukul Indonesia pada tahun 1998, rezim Orde Baru berakhir dan Indonesia memasuki era baru, yaitu era reformasi.
Pada era ini, perubahan yang signifikan terjadi pada seluruh aspek kehidupan Indonesia, termasuk perubahan sistem ketatanegaraan dari rezim otoriter menjadi rezim demokrasi.
Perubahan pengelolaan pemerintahan dan pembangunan dari sentralisasi menjadi sistem desentralisasi (otonomi daerah), dan perubahan pengelolaan perekonomian dari rezim protektif menjadi sistem ekonomi lebih liberal (Sipayung, 2012).
Sementara itu, produksi CPO mengalami peningkatan yang luar biasa dari sekitar 5,2 juta ton pada tahun 2000 menjadi 11,3 juta ton pada tahun 2010, membuktikan semakin pesatnya perkembangan industri minyak sawit nasional.
Di sisi lain, berkembangnya perkebunan rakyat dan perkebunan negara menjadi tanda bahwa kemandirian Indonesia dalam mengelola sumber daya alam dan membangun industri minyak sawit nasional mulai terlihat.
Dukungan dari pemerintah dan peningkatan liberalisasi ekonomi yang di terapkan memberikan ruang bagi dunia usaha termasuk perkebunan kelapa sawit untuk mengembangkan usaha mereka dengan lebih bebas.
Demikian rangkuman informasi mengenai perkembangan kelapa sawit yang terjadi di indonesia,tulisan ini ada beberapa di ambil dari jurnal Dr. Ir. Tungkot Sipayung,Executive Director at PASPI.